15 Persen Anak Indonesia Bermasalah dengan Catatan Kelahiran
Nusa Dua [KP]-Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia Santi Kusumaningrum saat ditemui di sela-sela Konferensi Internasional Viable and Operable Ideas for Child Equality (VOICE) 2018 di Nusa Dua Bali, Rabu (12/12) mengatakan, saat ini Indonesia menghadapi dua persoala yang cukup krusial tentang anak. Kedua persoalan itu adalah soal identitas sipil atau catatan kelahiran dan gizi buruk atau anak kurang gizi. Kedua persoalan itu diharapkan harus segera mendapat atensi dari pemerintah dari pusat hingga daerah. “PUSAKAPA sendiri melakukan riset untuk berbagai pengambil kebijakan dari pusat hingga daerah. Dan dua hal tersebut harus mendapatkan perhatian serius,” ujarnya.
Persoalan pertama adalah identitas sipil atau akta kelahiran. Masih ada jutaan anak Indonesia yang tidak mendapatkan akta kelahiran. Masalah pencatatan kelahiran di Indonesia masih besar dimana ada 15 persen lebih anak Indonesia umur 0-12 tahun tidak mempunyai catatan kelahiran. Bahkan ada 20 persen anak Indonesia bermasalah terhadap catatan kelahiran. “Tidak ada aturan secara nasional bahwa untuk sekolah harus ada akta kelahiran. Kalau pun ada itu adalah aturan lokal di sekolah tersebut. Hanya saat menjelang ujian akhir pihak sekolah biasanya meminta akta kelahiran untuk kepentingan menulis nama di ijazah,” ujarnya. Jika merujuk pada data Bappenas, maka Indonesia saat ini ada 87 juta anak usia 0-12 tahun. Artinya ada sekitar lebih dari 12 juta anak Indonesia yang tidak memiliki identitas sipil.
Menurutnya, banyak daerah tertinggal terutama di wilayah timur Indonesia yang mengalami hal serupa. Hal disebabkan fasilitas pencatatan sipil yang tidak sebaik dengan provinsi lain di Indonesia. Selain itu, kondisi topografi dan juga fasilitas yang tidak memadai dan harus dialami oleh pemerintah yang ada di Indonesia timur. Beberapa provinsi dengan kasus catatan sipil anak paling bermasalah adalah Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Barat. “Bahkan ada anak Indonesia yang mulai lahir, usia sekolah, dewasa tidak memiliki catatan kelahiran yang jelas,” ujarnya. Dokumen ini sangat penting untuk berbagai pelayanan sosial lainnya mulai dari hukum hingga kesehatan.
Selain itu, anak Indonesia masih menghadapi gizi buruk. Jumlahnya mencapai 27 persen. “Angka ini sangat besar dan ini berdampak pada kualitas generasi bangsa di masa yang akan datang. Jadi ada hubungan dengan bonus demografi Indonesia nantinya,” ujarnya. Gizi buruk berdampak pada pertumbuhan fisik yang tidak normal. Bila fisik tidak normal maka pertumbuhan otak pun tidak normal. Ini berpengaruh pada kemampuan akademis, nanti banyak yang bodoh. Bila ini terjadi maka di saat usia produktif, usia sekolah dan usia kerja, mereka tidak mendapatkan kualitas pendidikan baik, kesempatan kerja yang proporsional, penghasilan tidak seimbang, dan berujung pada kemiskinan dan pengangguran, serta kriminalitas.
Faktor gizi buruk pada anak ini sangat tergantung pada kualitas gizi perempuan. Ini berawal dari orang tua terutama ibu yang tidak menjaga kualitas gizi sebelum mengandung. Jadi ada kaitanya dengan kehamilan di usia yang sangat muda, pemenuhan gizi dan standar kesehatan perempuan mulai dari sebelum mengandung, selama mengandung, imunisasi lengkap, kaitannya dengan sanitasi, akses air bersih, jamban yang sehat dan seterusnya. “Dan yang paling penting adalah risiko kawin muda, kawin di bawa usia maksimal, maka risiko gizi buruk akan lebih besar. Karena ibunya belum siap mengandung. Jadi kawin muda, kehamilan di usia muda mendapat risiko yang paling besar gizi buruk,” ujarnya. A05