Metode P4 tidak Relevan bagi Kaum Milenial

Denpasar (KP)-Para rektor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berkumpul di Bali dalam acara Rembug Nasional Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi di Indonesia melawan Gerakan Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia. Pertemuan digelar selama 2 hari mulai dari tangga 27 hingga 28 September 2018. Penggagas acara Rembug Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi Se-Indonesia Ida Bagus Radendra Suastama mengatakan, Rembug Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia ini merupakan kelanjutan dari dari acara setahun yang lalu, dimana sebanyak 3500 rektor dari seluruh Indonesia bertemu di Nusa Dua Bali. Dalam pertemuan itu menghasilkan Deklarasi Nusa Dua yang berisikan penegasan para pimpinan perguruan tinggi di Indonesia untuk mempertahkan 4 pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, serta mencegah gerakan radikalisme dan intoleransi. “Dalam Rembug Nasional kali ini, tidak semua rektor diundang. Yang diundang hanya Stering Comite (SC). Tugasnya untuk merumuskan point-point penting secara implementatif dari Deklarasi Nusa Dua tahun lalu. Rumusan point-point itu akan diberikan kepada presiden dan Kemeristek Dikti sebagai acuan dalam menyampaikan materi 4 pilar kebangsaan dan mencegah radikkalisme dan intoleransi. Jadi jangan salah paham, bahwa dalam pertemuan kali ini jumlah rektornya semakin berkurang,” ujarnya di Denpasar, Kamis (28/9).

Menurut Radendra, Rembug Nasional para Rektor ini sangat penting karena para rektor merumuskan secara lebih implementatif dari deklarasi yang sudah pernah dilakukan sejak tahun lalu. Dalam rembug nasional ini menghasilkan beberapa rumusan sikap dan rekomendasi. Beberapa diantaranya adalah perlunya metode baru dalam penyampaian materi 4 pilar kebangsaan dan pencegahan radikalisme dan intoleransi kepada generasi milenial. Generasi milenial perlu ada metode baru dalam menyampaikan materi kebangsaan sesuai karakter milenial. “Kalau disampaikan dengan cara kuno, maka akan ada resistensi dan justeru malah sebaliknya berubah menjadi gerakan perlawanan,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan oleh Rektor STT Bandung Setyo Nugroho. Menurutnya, penataran nilai-nilai Pancasila yang dalam rezim Orde Baru sangat diandalkan melalui Penataran P4 harus diubah. Mereka tidak mau didoktrin. Metode baru sangat perlu. “Bahwa pendidikan, pelatihan secara sistematis sangat perlu. Tetapi cara seperti rezim Orde Baru sudah tidak relevan lagi. Jadi harus diubah. Penyampaian materi harus dilakukan secar fun, sesuai dengan karakter milenial. Generasi milenial perlu diajak dan dilibatkan untuk merancang metode penyampaian materi konsensus kebangsaan dan bahaya radikalisme agar sesuai dengan karakter generasi dan lebih efektif tertanam dalam benak mereka.

Generasi milenial sangat membutuhkan keteladanan dari pemimpin bangsa, orang tua, pimpinan PT maupun dosen pengajar di tempat mereka belajar. Jujur, dan tidak korupsi adalah nilai-nilai yang harus ditunjukkan dalam tindakan sehari-hari. Generasi milenial juga perlu memperoleh pendidikan budi pekerti, penghormatan pada hierarki, disiplin, toleransi, dan cinta tanah air sebagai fondasi menerapkan sikap hidup Pancasila.

Perlu memunculkan kisah dan tokoh inspiratif yang memiliki keteladanan, prestasi, dan pengorbanan. Mereka ini lalu diekspose secara masif melalui media-media komunikasi terkini seperti medsos, media viral. Penyampaian materi Pancasila perlu lebih inovatif, berorientasi praktek atau penerapan, gaya komunikasi visual, fun (menyenangkan), kaya content, dan disampaikan melalui media komunikasi viral terkini.

Point lain yang tidak kalah penting adalah merumuskan langkah-langkah konkret dalam mencegah masuknya paham radikalisme ke dunia kampus, memperkuat pemahaman Ideologi Pancasila dalam kurikulum pendidikan bagi mahasiswa dan pembinaan dosen pengajar, merumuskan langkah-langkah pengawasan dan pengendalian organisasi kemahasiswaan & unit kegiatan kemahasiswaan dari pengaruh radikalisme. Pengalaman membuktikan, banyak kegiatan ekstra kampus yang bermuatan paham radikalisme, tetapi dibiayai oleh kampus. Atau kegiatan tersebut dibiayai oleh sponsor dengan pesanan tertentu. “Ini harus menjadi pengawasan kampus dan tugas para rektor. Sebab, begitu dosennya radikal, mahasiswa senior radikal, maka seluruh kampus akan menjadi radikal. Kalau dosennya radikal, maka semua mahasiswanya pasti radikal. Ada banyak dosen yang posting radikalisme dan intoleransi. Ini harus ditangani. Begitu juga organisasi ekstra kampus, mereka berafiliasi dengan kampus, dipelopori oleh mahasiswa senior di kampus. Ada juga pendanaan dari luar kampus, maka kita harus melayani kepentingan pendanaan itu,” ujarnya. A08

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *