Bali akan Melakukan Repatriasi Peninggalan Sejarah yang ada di Luar Negeri
Denpasar [KP]-Pemerintah Provinsi Bali akan melakukan repatriasi peninggalan sejarah yang ada di luar negeri. Hal ini disampaikan oleh Gubernur Bali I Wayah Koster saat membuka Kongres Kebudayaan Bali III yang berlangsung di Wiswa Sabha Utama, Renon, Selasa (4/12). Menurut Koster, selama ini budaya Bali tidak terarah dengan baik, baik dari sisi kebijakan, gerakan kolektif maupun dari anggaran yang sangat minim. “Kalau ini digerakan semua maka Bali akan sangat kaya. Sebagian besar terpendam, belum digali, belum diberdayakan. Secara kolektif masih nihil,” ujarnya.
Untuk itu usai kongres kebudayaan ini, pihaknya segera membentuk tim khusus yang bertugas untuk menggali semua warisan budaya. Termasuk tim untuk merepatriasi berbagai warisan leluhur Bali yang saat ini disimpan di luar negeri. “Salah satunya adalah peninggalan atau jejak perang Puputan Badung yang saat ini ada di luar negeri. Kita bisa repatriasi. Kita kembalikan ke Bali. Kita simpan di Bali sebagai warisan sejarah masa lalu,” ujarnya.
Untuk mencapai maksud itu, Koster menegaskan jika Bali akan akan mengeluarkan Perda Kebudayaan. Perda itu tidak mereferensi pada UU di atasnya, tetapi dia akan mengatur sendiri budayanya. “Bila Perda itu jadi, maka seluruh peninggalan yang ada di luar negeri akan direpatriasi. Kita akan tarik semua kembali ke Bali. Salah satunya adalah peninggalan tentang perang Puputan Badung. Koster juga meminta kepada para budayawan menggali semua kearifan lokal Bali, cerita rakyat, lontar, sastra Bali dan sebagainya. “Gali, dan jadikan itu sebagai sumber nilai-nilai kehidupan masyarakat, ulet, etos kerja tinggi, bermartabat dan seterusnya. Saya minta bentuk tim untuk menggalinya,” ujarnya.
Menurut Koster, banyak warisan, benda cagar budaya, cerita lisan, lontar, sastra dan masih banyak yang belum digali, belum didata. Aset budaya Bali berapa besarnya belum terdata. Setelah itu, budaya harus menjadi karya produksi. Dia harus menjadi produk ekonomi, menghasilkan uang. “Ini yang sudah kelihatan. Ini harus diperkuat, disertifikasi, distandarisasi dan sebagainya. Dia harus bermartabat, terhormat. Karena budaya harus berdampak pada kesejahteraan baik langsung maupun tidak langsung. Harus bisa menghasilkan uang. Produk itu harus dikembangkan. Ini harus diwadahi, negara harus hadir, sehingga pertumbuhan akan naik. Dia harus meningkat menjadi industri. Seni desain misalnya harus dikembangkan. Ini adalah ekonomi berbasis budaya, yang disebut dengan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Terkait dengan upaya repatriasi warisan budaya dan peninggalan Bali yang kini berada di luar negeri, pakar budaya Bali yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Made Bandem mengatakan, pihaknya sudah melakukan upaya mengembalikan peninggalan, benda cagar budaya yang kini ada di luar negeri. Namun ada beberapa kesulitan yang dihadapi kalau kita beli kembali benda itu ke Bali, apakah dalam bentuk musik, film, cerita rakyat dan sebagai. Kesulitannya adalah cara memeliharanya. “Namun karena ada digitalisasi, maka kita mengembalikan lewat proses digital. Keuntungannya, bila benda itu terancam rusak, terancam kehapus, maka maka kualitasnya bisa ditingkatkan, dibuat jadi lebih bagus lewat proses digitalisasi. Mutunya ditingkatkan. Misalnya rekaman yang yang dilakukan tahun 1928, kalau dipaksakan, maka akan rusak, suaranya jelek. Karena proses canggih, maka suaranya menjadi lebih baik,” ujarnya.
Contoh lain, ada juga film Bali dari Trunyan yang direkam tahun 1938. Film itu sudah terancam rusak, berair. Kemudian beberapa ahli menggunakan teknologi sinar laser. Benang itu utuh kembali. Lalu film itu jadi kembali, dengan hasil yang maksimal. Hingga saat ini sudah ada 6 jam film dari Trunyan, dan masih ada sekitar 2 jam yang belum dibuka. Ada juga film dari Bangli, Buleleng, Tabanan yang belum dibuka. Sementara musik, sudah ada 113 keping piiringan hitam, musik tradisional Bali yang sudah dikembalikan ke Indonesia.
Banyak peninggalan Bali itu tersebar di Amerika, Inggris, Swedia dan beberapa negara lainnya. Saat ini akan disasar rekaman yang ada di Belanda yang direkam oleh ahli musik Belanda Yakuns. Tim ini yang merekam, memotret dan perlu dikembalikan. Peninggalan lainnya adalah peninggalan seperti Perang Puputan Badung. Pengetahuan itu sudah ada, tinggal bagaimana cara mengembalikannya ke Bali. Menurutnya, repatriasi peninggalan Bali yang ada di luar negeri itu sangat penting yakni untuk kepentingan dokumentasi, sumber penelitian, sumber penciptaan seni. “Saat ini tidak banyak orang Bali yang melihat tari barong produk asli tahun 1930-an. Kalau itu dilihat, maka semangatnya, energinya akan sangat luar biasa,” ujarnya.A03