Sidang Sengketa Lahan PT BTID dengan Warga Memanas, Satu Saksi Diperiksa Sampai 3 Jam

Denpasar[KP]-Kasus sengketa kepemilikan lahan antara ahli waris Daeng Abdul Kadir Desa Serangan Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar terus bergulir di Pengadilan Negeri Denpasar. Jika sebelumnya dalam agenda pemeriksaan saksi, ada dua saksi yang diperiksa, maka dalam sidang pada Senin (29/4/2024) kemarin hanya diperiksa satu orang saksi berinisial WS. Sekalipun hanya satu saksi, namun memakan waktu yang sangat lama yakni sekitar 3 jam. Saksi kali ini juga adalah warga asli Serangan. Lamanya pemeriksaan saksi tersebut sempat dikeluhkan oleh Ketua Majelis Hakim Gede Putra Astawa. Lamanya pemeriksaan satu saksi ini karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan oleh para kuasa hukum dari tergugat 1 PT BTID (investor), tergugat 2 yakni Jero Bendesa Adat Serangan, tergugat 3 adalah Lurah Serangan, dan turut tergugat adalah Walikota Denpasar. 
Menurut ahli waris Siti Sapurah atau Ipung, sidang menjadi lama karena diduga kuat ada upaya untuk menggiring saksi untuk mengakui agar sisa lahan yang udah di-SHGB itu hilang. “Bagaimana mungkin tanah seluas 112 are kemudian yang di-SHGB sebanyak 94 are. Apakah yang sisanya hilang begitu. Kami menduga ada upaya dari para tergugat untuk menggiring agar saksi mengakui jika lahan yang menjadi obyek sengketa itu hilang,” ujarnya saat dikonfirmasi usai sidang. Menurut persepsi para tergugat, mereka ingin menyimpulkan bahwa jika orang punya tanah 112 are, dan setelah disertifikat seluas 94 are, berarti yang lainnya hilang. “Padahal saya dan keluarga saya masih menguasai tanah itu. Aturan yang mana yang membuat tanah itu hilang,” ujarnya.
Sementara ada surat dan penelitian dari BPN saat di lokasi saat penggugat mengajukan keberatan atas SHGB 82 atas nama PT BTID. Disana BPN mengatakan bahwa setelah dilakukan penelitian lokasi terhadap penerbitan SHGB 82, dinyatakan tidak sesuai dengan lokasi tanah jual beli antara Haji Muhammad Anwar dengan PT BTID tahun 1993. Tetapi PT BTID tetap saja mengatakan bahwa tanah itu bukan milik Daeng Abdul Kadir dan tetap mengatakan bahwa tanah itu milik Haji Muhammad Anwar. “Kayaknya mereka harus membaca kembali surat dari BPN itu. Supaya terang benderang bahwa tanah itu memang milik Daeng Abdul Kadir,” ujarnya. Menurut Ipung, dalam penerbitan SHGB 82 yang luasnya 647 m² berasal dari ini dari pipil 186 yang luasnya 11.200 are milik Abdul Kadir. Dari ini ditemukan bahwa setelah dilakukan penelitian lokasi, penerbitan SHGB 82 2 tidak sesuai dengan kronologis yang diberikan oleh BPN Kota Denpasar. Jadi artinya lahan seluas 647 meter persegi itu milik Daeng Abdul Kadir. 
Saksi adalah warga asli Pulau Serangan. Dia lahir dan besar di Serangan. Dia tinggal di Banjar Peken di Serangan. Saksi tahu dengan pasti bahwa tanah yang menjadi obyek sengketa itu miliki Daeng Abdul Kadir. Bila para tergugat menggiring saksi untuk menghilangkan obyek sengketa dengan mengatakan tanah milik Haji Muhammad Anwar maka ini sulit dipahami saksi. Sebab sebelumnya lokasi tersebut dibuat untuk melintasi warga saat datang ke sumur. Ipung menilai, ada upaya dari para tergugat untuk tidak mau membaca dokumen secara utuh. Ada bagian dokumen yang sengaja tidak dibaca atau dihilangkan. 
Ketua Majelis Hakim Gede Putra Astawa bersama hakim anggota Ida Bagus Bamadewa dan Ni Made Oktimandiani langsung membacakan agenda sidang berikutnya yakni peninjauan lokasi. Hal ini untuk memperjelas bahwa objek sengketa yang sekarang dijadikan akses jalan yang juga di SHGB oleh PT BTID adalah bagian dari pipil 186. Dalam peninjauan lapangan nanti, hakim akan mengetahui dengan pasti mana lahan yang menjadi obyek sengketa dan siapa kepemilikan lahan yang sebenarnya. A04

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *