November 19, 2025

Bikin 80 Ribu Orang Kehilangan Nyawa di Rezim Orde Baru, Koalisi MUAK Bali Tolak Soeharto Digelar Pahlawan

0
IMG-20251107-WA0059

Denpasar[KP]-Koalisi Masyarakat Untuk Adili Kejahatan HAM (MUAK) Bali sepakat menolak usulan agar Presiden Soeharto digelar menjadi pahlawan di Indonesia. Koalisi MUAK yang berasal dari berbagai elemen masyarakat ini menggelar doa bersama di Pura Dharma Praja Udiana Kantor DPRD Bali, Jumat sore (7/11/2025). Dia bersama dilakukan dengan tujuan agar Indonesia terhindar dari kejahatan pelanggaran HAM. Do’a bersama ini dilatarbelakangi atas diusulkannya pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat selama 32 tahun memimpin Indonesia.

Aksi ini dijaga ketat puluhan aparat kepolisian dari Polda Bali agar tidak ada orasi dan membentangkan spanduk. Akibatnya, sejak pertama di titik kumpul yakni di depan DPRD Bali hingga do’a bersama selesai dilakukan, tidak ada orasi dan bentangan spanduk sekali semuanya sudah disiapkan oleh anggota Koalisi MUAK. Aparat kepolisian selalu menjaga dan mengerumuni masyarakat yang mengikuti do’a bersama sehingga masyarakat tidak membentangkan spanduk Tolak Gelar Pahlawan Soeharto. Pihak keamanan Kantor
DPRD Bali juga turut melarang masyarakat agar tidak membentangkan spanduk tersebut.

Sepanjang do’a bersama, aparat kepolisian dan TNI yang berpakaian sipil malah ikut bergabung dan secara intens memotret masyarakat yang sembahyang di Pura Dharma Praja Udiana sehingga kekhusyukan dalam
berdo’a terganggu.

Juru bicara Koalisi MUAK Tomy Wiria menjelaskan, elemen masyarakat Bali yang tergabung dalam Koalisi MUAK keberatan atas usulan Menteri Sosial, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, yang berencana memberi gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Republik Indonesia ke-2, Soeharto. Usulan tersebut didukung penuh oleh Partai Golkar dan telah diterima oleh Istana dan sedang dalam proses pengkajian Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bersama Presiden, serta akan diumumkan pada 10 November 2025. “Usulan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengaburan bahkan manipulasi sejarah untuk menghapus dosa sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan korupsi, kolusi dan nepotisme di bawah rezim Orde Baru,” ujarnya.

Ia menjelaskan, seluruh masyarakat Indonesia juga sudah tahu bahwa selama 32 tahun, Soeharto menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan penuh kekerasan. “Dalam transisi rezim kekuasaan Soekarno ke Soeharto, sejak akhir Desember 1965-1966, setidaknya 80.000 jiwa menjadi korban kekerasan politik di
Bali. Atas nama pembangunan pariwisata, rezim yang dipimpin Soeharto bersama Pemda Bali mengambil alih tanah adat di kawasan Tamblingan dan Tanah Lot dengan menggusur warga setempat,” urainya.
Kemudian berlanjut dengan rentetan pelanggaran berat lainnya, diantaranya:
Peristiwa Talangsari, Lampung 1989.

Berdasarkan Laporan Keadaan HAM di
Indonesia 1989 menyebut peristiwa tersebut menewaskan 31 (tigapuluh satu) orang dan beberapa orang lainnya dipenjara karena dituduh subversif; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang menyeret 13 (tiga belas) orang masih dinyatakan hilang. Kemudian ada peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1989-1998; kerusuhan Mei 1998, yang berdasarkan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.

Di sisi lain, Soeharto melalui UU Nomor 5 Tahun 1967 yang berisikan tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, menggelar karpet merah yang selebar-lebarnya untuk mempermudah pembukaan usaha-usaha eksploitatif yang tidak berpihak terhadap kepentingan sumber daya alam maupun manusia. Undang-Undang ini menyatakan bahwa hutan adalah kekayaan alam yang dikuasai negara, dan hutan perlu dilindungi dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Dimana UU ini tidak mengakui
pemukiman-pemukiman atau seluruh kawasan yang dikelola oleh rakyat di dalam kawasan hutan yang berimplikasi terhadap penggusuran paksa.

Dikenal sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”, jejak korupsi Soeharto tergambar melalui TAP MPR XI/MPR/1998, tertanggal 13 November 1998, Soeharto dituding sebagai pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, dengan dikeluarkannya Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006, upaya menyelidiki kejahatan pidana korupsi Soeharto terhenti. Reformasi lagi-lagi tidak menunjukkan taringnya. Tuntutan reformasi untuk mengadili Soeharto terasa bagaikan angin lalu dan semakin jauh untuk dicapai. Padahal sejarah melalui regulasinya memandatkan negara menyeret Soeharto dan kroni-kroninya untuk
bertanggung jawab secara hukum tercantum dalam TAP MPR No.11 Tahun 1998 tentang pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

“Apabila Soeharto dianugerahkan sebagai pahlawan nasional diterima, dapat dikatakan bahwa Presiden Prabowo turut melanggengkan KKN dan mengkhianati rakyat beserta amanat reformasi 1998,” ujarnya.

Atas usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, maka masyarakat sipil Bali yang tergabung dalam Koalisi MUAK menyatakan sikap antara lain, pertama, menuntut penghentian upaya pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Kedua, Partai politik, DPR RI dan MPR RI untuk menolak usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ketiga, Presiden dan DPR RI memerintahkan aparat penegak hukum untuk segera melanjutkan proses penegakan hukum dengan menyeret keluarga Soeharto dan kroninya yang terlibat kasus KKN maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia ke pengadilan. Keempat, Presiden Prabowo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera melanjutkan proses penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat. Kelima, Presiden Prabowo dan DPR RI untuk berhenti menerbitkan kebijakan yang mengkhianati mandat reformasi, membahayakan demokrasi, HAM dan negara hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *