Nyepi Tanpa Ogoh-Ogoh tidak Mengurangi Makna Hari Raya

Denpasar[KP]-Ketua PHDI Bali Prof. I Gusti Ngurah Sudiana menjelaskan, sudah dua tahun Bali merayakan Nyepi di tengah Pande Covid19. Untuk itu pihaknya sudah sejak sebulan yang lalu sudah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh umat Hindu di Bali dalam rangka perayaan Nyepi di tengah pandemi Covid19. “Sejak sebulan menjelang Nyepi, PHDI sudah mengeluarkan edaran untuk perayaan Nyepi. Mulai dari acara Melasti, tawur, pengerupukan dan seterusnya. Intinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di tengah pandemi Covid19. Tujuannya agar tidak ada kluster baru atau kluster Nyepi di Bali,” ujarnya di Denpasar, Sabtu (13/3/2021).
Menurutnya, banyak penyesuaian dalam perayaan Nyepi selama dua tahun berturut-turut sama sekali tidak mengurangi makna dari perayaan Nyepi itu sendiri. Sejak upacara Melasti misalnya, jika Nyepi tahun 2020 jumlah umat yang ikut Melasti bisa mencapai 50 orang atau bahkan lebih. Lokasinya bisa ke laut, danau atau campuhan (sungai). Namun kali ini disesuaikan dan disederhanakan. Jumlah umat hanya sekitar 20 orang dan bahkan hanya 10 orang. Ada yang hanya melakukan ngubang di sekitar pura terdekat di desa yang hanya dihadiri oleh prajuru adat atau pemangku adat, tukang Banten dan pengempom pura. Sekali lagi penyederhanaan ini sama sekali tidak mengurangi arti dan makna Melasti.
Melasti dari kata ‘lasti’ yang berarti menuju air. Dalam berbagai referensi diartikan dengan bersama-sama ke laut, ke air, ke campuhan, dengan mengusung simbol dewa-dewi. Maknanya, pertama adalah memohon kepada dewa Baruna untuk memberikan air kehidupan. Sekembalinya ke desa, air tersebut dibagikan kepada masyarakat untuk mendapatkan kedamaian, ketenangan, keharmonisan. Kedua, adalah simbol menghanyutkan segala jenis kotoran, hati yang jahat, yang bersifat duniawi. Semuanya dilebur, dihanyutkan ke laut atau sungai. Diyakini setelah dilarutkan, dihanyutkan maka yang tertinggal adalah kemurnian, kesucian, atau tinggal hati yang bersih dan suci karena semua yang kotor sudah dilarutkan.
Setelah itu, rangkaian berikutnya adalah upacara tawur. Tawur berarti netralisir. Ada lima kekuatan jahat atau yang disebut dengan panca maha bhuta. Kelima kekuatan jahat tersebut berasal dari lima sumber kehidupan yakni air, cahaya atau sinar, api, ruang angkasa, dan bumi atau tanah. Kekuatan jahat ini disimbolkan dengan bhuta kala. Bhuta berarti kejahatan dan kala berarti waktu. Bhuta kala itu digambarkan dengan makluk jahat, yang biasanya diarak dalam bentuk ogoh-ogoh. Itulah sebabnya ogoh-ogoh selalu berwajah seram, menakutkan. “Di masa pandemi ini, ogoh-ogoh tidak diarahkan. Karena nanti dikuatirkan ada klaster ogoh-ogoh dari mereka yang mengarak, menonton, atau kembali ke rumah menulari keluarganya,” ujarnya. Sekalipun ogoh-ogoh tidak diarahkan namun bisa dilakukan di rumah masing-masing saat senjakala untuk mengusir berbagai kekuatan jahat di masing-masing rumah. Hal ini disimbolkan dengan menyalakan api, menebarkan beras keliling rumah.
Barulah keesokan harinya melakukan perayaan Nyepi atau catur berata penyepian. Saat itulah semua orang berdoa, bermeditasi, di rumah masing-masing. Simbolnya tidak bepergian, tidak bekerja, tidak menyalakan api, tidak menghibur diri dengan hal-hal negatif. “Umat Hindu diharapkan berdiam diri di rumah. Berdoa. Bermeditasi, masuk dalam keheningan. Kalau pun tidak bisa, bisa diisi dengan membaca buku yang berguna. Kalau tidak bisa juga silahkan bercakap-cakap dengan sanak keluarga inti dan tidak mengganggu kehidupan orang lainnya,” ujarnya. A04

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *