BPSKL Jawa Bali Nusra Kementerian Kehutanan Ekspose Kajian Dampak Perhutanan Sosial
Denpasar [KP]-Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar Bali dan Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Jawa Bali Nusa Tenggara (BPSKL JBNt) mempresentasikan dan mengekspose kajian dampak perhutananan sosial di Sanur Bali, Kamis (20/12). Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain para pengelolah hutan sosial baik dari Bali maupun Jawa Barat, unsur dari kementerian kehutanan, dinas kehutanan baik dari Bali, para aktifis atau LSM lingkungan hidup, akademisi, kelompok tani, pendamping dan kelompok kerja lainnya.
Kepala Seksi Penyiapan Kawasan Usaha Perhutanan Sosial Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Jawa Bali Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Ahkmad Syarifuddin Fauzi mengatakan, ada dua kampus yang melakukan kajian dampak perhutanan sosial yakni untuk di Jawa Barat dari IPB dan wilayah Bali dari Unwar. Kedua kampus itu adalah pelaksanan kajian karena mereka memiliki kompetensi untuk melakukan kajian, mencari data, menggelar forum diskusi group, bertemu dengan para pelaku di lapangan, meneliti, menganalisa dan menyimpulkan hasilnya. “Makanya hari ini kita mengekspose hasil kajian dampak perhutanan sosial baru untuk wilayah Bali dan Jawa Barat. Untuk yang di Jawa Barat oleh IPB, untuk yang di Bali dari Unwar. Secara ilmiah kedua kampus itu memiliki kompetensi untuk mencari data, turun ke lapangan, berdialog dengan para petani, melakukan analisa, dan seterusnya. Intinya mereka punya kompetensi secara ilmiah untuk manfaat hutan sosial kepada masyarakat,” ujarnya. Menurut Fauzi, hasil kajian ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan berbagai keputusan dan kebijakan dalam rangka mengembangkan, meningkatkan kualitas hutan sosial. Selain itu, hasil ekspose ini juga menjadi pemicu para pengelolah hutan sosial yakni penduduk asli yang berada di seputaran kawasan hutan sosial untuk terus berbenah diri mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Para pakar memiliki data riil di lapangan dengan kajian ilmiahnya. “Kami sebagai pemerintah akhirnya mengetahui bahwa kendala, tantangan, peluang, yang dihadapi dalam perhutanan sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ternyata sangat. Kita mengetahui bahwa inilah hasilnya yang dijalankan selama beberapa tahun terakhir dan dituntut untuk cepat memperbaikinya sehingga ke depannya lebih efektif,” ujarnya.secara keseluruhan hasilnya positif, meningkatkan kesejahteraan, mengolah hutan dengan legal dan tenang, dan seterusnya. Walau banyak hasil positifnya, namun disana-sini masih terjadi beberapa hal yang menuntut perbaikan dan pembenahan.
Menurutnya, alokasi perhutanan sosial di Indonesia ada 12,7 juta hektar yang seharusnya dikelolah masyarakat di desa. Saat ini baru tercapai atau terealisasi sekitar 3 juta hektar. Pemerintah menargetkan agar seluruh alokasi lahan perhutanan sosial bisa dikelolah masyarakat yang jumlahnya 12,7 juta hektar. “Masih banyak peluang yang harus digarap. Kita mempersiapkan dulu kelompok masyarakatnya, kelompok pendampingnya. Kita perlu mempersiapkan dulu kelompok masyarakat, mengedukasinya bahwa hutan tersebut bukan bagi-bagi lahan untuk dieksploitasi secara liar namun harus digunakan sebagai peluang usaha dengan tetap menjaga hutan agar tetap terlestari dengan baik,” ujarnya.
Salah satu narasumber ekspose kajian dampak perhutanan sosial DR Putu Ngurah Suyatna Yasa dari Universitas Warmadewa Denpasar mengatakan, secara umum waktu operasional perhutanan sosial masih relatif singkat. “Dari hasil riset kami di lapangan, kendala yang paling dominan adalah SDM dari pengolah hutan sosial itu sendiri. Umumnya petani belum paham secara baik dan benar bagaimana mengolah hutan sosial itu sendiri. Skill mereka dalam mengolah hutan itu yang perlu ditingkatkan. Misalnya bagaimana menanam, memelihara, pembibitan, panen, mengemas produk, mengolah menjadi produk baru, membangun jaringan, termasuk kelembagaan yang menanganinya,” ujarnya.
Menurutnya, di Bali misalnya, dan mungkin juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia, bahwa umumnya hutan sosial itu ada di desa terpencil, jauh di pedalaman. Kebanyakan masyarakatnya tamat SD, pengetahuannya tentang pemasaran, pengolahan, sangat minim. Petani tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri. Sebab kebanyakan, begitu izin kelolah hutan keluar, para petani dibiarkan mengolah hutan sendiri. Solusianya, kualitas para pendamping juga harus dibiarkan. “Walau demikian, ada banyak juga sisi positifnya. Kesejahteraan meningkat, pendapatan naik rata-rata Rp 1.750 ribu perbulan. Tenaga kerjanya juga meningkat. Namun yang perlu diperbaiki adalah jaringan pemasaran, pengolahan pasca panen menjadi produk yang siap dijual,” ujarnya. A05