Desember 3, 2024

Dirjen Otda: Perda di Indonesia harus Berbau Pancasila dan UUD45

0

Kuta [KP]-Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri mengumpulkan para Kepala Biro Hukum Provinsi dari 34 provinsi di Indonesa dan para Kepala Bagian Hukum Kabupaten sejauh yang dipilih. Mereka dikumpulkan di Kuta Bali selama dua hari dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Biro Hukum Provinsi Seluruh Indonesia dan Kepala Bagian Hukum Kabupaten dan Kota, mulai Rabu (7/11) sampai Kamis (8/11). Rakornas para kepala biro hukum provinsi dan para kepala bagian hukum kabupaten dibuka langsung oleh Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Soni Sumarsono sekaligus tampil sebagai pembicara kunci dalam Rakornas tersebut.

Dalam arahannya, Dirjen Otda Soni Sumarsono menekankan bahwa sebelumnya ada banyak Perda dan peraturan lainnya baik yang ada di provinsi maupun kabupaten yang menabrak peraturan yang lebih tinggi di atasnya, menghambat investasi dan bahkan ada peraturan yang tidak manusiawi dan tidak masuk akal. “Saya teringat ketika suatu saat Bapak Presiden memanggil Mendagri. Saya diminta ikut mendampingi Mendagri saat menghadap Presiden. Dalam pertemuan itu, Presiden menyatakan kegalauannya, kegelisahanya, bahwa ternyata banyak Perda di provinsi dan kabupaten yang menghambat perizinan, menghambat investasi dan sebagainya. Jumlahnya sangat banyak, ribuan peraturan. Totalnya lebih dari 30 ribu Perda. Tingkat kemudahan perizinan Indonesia untuk menempati nomor 109. Singapura nomor 1. Malaysia nomor 6, Thailand nomor 9. Lalu Presiden meminta apakah hal itu bisa dihapus. Mendapat permintaan itu, Pak Mendagri menoleh ke saya. Lalu saya jawab bisa. Kemudian Presiden bertanya berapa lama, apakah bisa 6 bulan. Saya langsung jawab hanya 3 bulan. Makanya saya bekerja keras untuk menghapus semua Perda, Pergub, Perbup, Perwali yang dianggap bertentangan dengan aturan di atasnya, menghambat perizinan dan investasi,” ujarnya.

Dalam perjalanan waktu, semua berjalan dengan cepat. Namun diakhir-akhir, persoalan ini mendapatkan perlawanan hukum. Hal ini terkait dengan proses judicial review dan eksekutif review dan akhirnya mendapatkan kekuatan hukum tetap melalui gugatan ke MA dan MK. Bila sebelumnya, Mendagri bisa membatalkan Perda di provinsi dan Pergub, dan Gubernur bisa membatalkan Perda di tingkat kabupaten dan Perbup, maka sekarang menjadi tidak bisa. “Setelah keluarnya Keputusan MK bahwa Mendagri dan Gubernur tidak bisa lagi membatalkan Perda baik di provinsi maupun di kabupaten, namun pemerintah pusat tetap menginginkan produk hukum dan peraturan yang berkualitas, maka para Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum di Indonesia harus dikuatkan SDM-nya. Ini demi melahirkan produk hukum di daerah yang berkualitas,” ujarnya. Keputusan MK Nomor 137 dan Nomor 36 Tahun 2018 menyatakan bahwa Mendagri tidak bisa lagi membatal Perda di tingkat provinsi dan gubernur untuk Perda di tingkat kabupaten.

Menurut Soni, oleh karena adanya keputusan tersebut, maka jalur lain harus dilakukan yakni dengan meningkatkan SDM para ASN di bidang hukum. “Salah satunya dengan Rakornas seperti ini. Karena kita atau pemerintah pusat tetap menginginkan produk hukum yang berkualitas di daerah, tidak menghambat perizinan, tidak mengabaikan sisi kemanusian, tidak pro kapitalis, tidak pro kelompok tertentu. Selain Rakornas seperti ini, diharapkan, provinsi dan kabupaten di Indonesia mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan SDM ASN di bidang hukum. “Bila perlu ada sekolah khusus pembuar Perda. Mereka disekolahkan secara singkat, bisa 2 bulan, bisa 3 bulan, bisa 6 bulan. Pemerintah biayai itu. Namun harus konsisten. Jangan sampai setelah sekolah mereka dipindahkan menjadi staf ahli, atau di dinas yang tidak ada hubunganya dengan keahliannya. Banyak yang begitu. Ini korban politik semua. Memang Negeri ini aneh,” ujarnya.

Sumarsono memberikan rambu-rambu-rambu dalam membuat Perda dan Pergub dan Perbup. “Apa pun Perda, dan peraturan lainnya, baunya harus bau Pancasila dan UUD45,” tegasnya. Rambu-rambu itu antara lain, pertama, apakah peraturan itu bisa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebab di beberapa kabupaten, ada Perda bahwa semua wanita harus menggunakan hijab. Disana harus diketahui dahulu, apakah semuanya beragama Muslim, apakah tidak ada agama lain disana. Di Tangerang misalnya, pernah ada Perda bahwa wanita dilarang keluar malam, hanya sampai jam 11 malam. Sementara banyak karyawan pegawai mall, pegawai minimarket, mereka baru keluar jam 11 malam. Apakah mereka tidak baik-baik. Apakah semua mereka harus ditangkap. “Pernah disana ada SatPol PP yang dipecat gara-gara tangkap isteri seorang pejabat,” ujarnya.

Kedua, apakah peraturan itu mencerdaskan kehidupan berbangsa bernegara. “Ada beberapa wilayah di Jawa Barat mengatur soal larangan membuka warung, restoran, kafe di bulan suci Ramadhan. Bagaimana kalau ada para musafir dari Banyuwangi mau ke Ace. Tiba disana, mau makan, tidak ada yang jual. Kalau dia mati kelaparan siapa yang bertanggungjawab. Bagaimana dengan rumah sakit, ibu hamil, orang sakit, anak-anak. Lebih baik di Jawa Timur. Warung tetap buka, tetapi pintunya ditutup, dan sebagainya,” ujarnya. Ketiga, apakah peraturan itu memajukan kesejahteraan umum. Mau bangun itu larang, mau dirinya ini larang dan sebagainya. Keempat,  apakah peraturan itu mengayomi, pro terhadap kemanusian, memiliki asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sebab, di banyak daerah ada banyak aturan yang merugikan kaum perempuan. Di Ace ada aturan yang mengatur cara duduk seorang wanita. Di DKI ada aturan dan jalur khusus untuk kursi roda. Walau sering dipakai jalur ojek. “Inilah beberapa hal yang harus diperhatikan. Kita ingin agar Perda itu berkualitas, berbau Pancasila dan UUD 45,” ujarnya. A05

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *