Tempat Sholat Watu Noa, Simbol Toleransi Beragama Tertua di Nagekeo
Nagekeo [KP] – Warga NTT umumnya, dan Kabupaten Nagekeo khususnya, tidak asing lagi dengan kampung wisata atau desa wisata Pajoreja, Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, NTT. Di bawah kepemimpinan kepala desa energik Petrus Leko, Desa Wisata Ululoga sudah memiliki destinasi wisata tracking air panas Lowo Aebana, jalur tracking menuju puncak Gunung Ebulobo. Bahkan Kampung Pajoreja saat ini sudah membangun homestay yang langsung berada di rumah penduduk. “Kami mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat. Masyarakat harus diberdayakan, masyarakat harus memiliki pariwisata itu sendiri. Bukan investor. Kami melindungi masyarakat kami,” ujarnya.
Menurut Petrus, selain wisata alam, pihaknya akan mengembangkan wisata religi, sebagai simbol toleransi tertua di Nagekeo antara Muslim dengan Katolik. Namanya Watu Noa. Lokasinya sekitar 500 meter dari Kampung Pajoreja. Disebut Watu Noa karena saat itu ternyata batu tersebut disiapkan khusus untuk tempat sholat. Dikisahkan, saat itu seorang tokoh dari Pajoreja bernama Moni Bu’u. Moni Bu’u ternyata mempersunting gadis asal Kampung Tonggo, Kecamatan Nangaroro, sekitar tahun 1700 bernama Buka Uma yang sudah menganut agama muslim. “Saat itu, masyarakat Pajoreja belum beragama. Sementara Buka Uma sudah menganut agama Muslim. Namun menariknya, Moni Bu’u tidak meminta Buka Uma berhenti menganut agama muslim. Sebaliknya, Buka Uma juga tidak meminta suaminya Moni Bu’u masuk menjadi muslim. Inilah toleransi tertua yang sudah ada sejak tahun 1700,” ujar kepala desa low profile tersebut.
Buka Uma yang diberi kesempatan untuk tetap Sholat di pagi hari akhirnya bisa membangunkan warga. Bahkan saat itu warga mengira watu (batu) yang dipakai untuk sholat dikira mampu meratap (Noa) sehingga disebut Watu Noa. Saat ini Watu Noa tempat Sholah masih tersimpan. Mata air untuk wudhu juga masih ada dan tidak pernah kering. Bahkan, tempat tersebut saat ini sudah menjadi tempat ziarah bagi warga muslim baik dari Tonggo dan sekitarnya dan terbuka untuk umum. Meski warga Desa Ululoga seratus persen menganut Katolik, namun mereka tidak berkeberatan jika di desanya ada tempat bersejarah bagi agama Islam. “Walapun berada di tempat suaminya yang belum beragama, Buka Uma tidak lupa akan kewajibannya sebagai orang yang beragama Islam, yaitu salat. Buka Oma dengan sendirinya mengambil air dari mata air dan melakukan salat. Persis berada di mata air tersebut terdapat sebuah batu besar untuk bisa dilakukan salat. Dan pada waktu itu masyarakat setempat menamakan batu itu Watu Noa,” tuturnya.
Orang-orang tua zaman dulu bersaksi, di Watu Noa atau lokasi tempat salanya Buka Uma, kerap terdengar bunyi seperti orang sedang salat. Sampai saat ini tempat wudu alam itu masih ada, letaknya persis di bawah pohon Nengi, dalam bahasa setempat. Pohon Nengi diperkirakan sudah tumbuh sebelum Buka Uma masuk ke Pajoreja. Yang unik, meski sudah masuk musim panas, kucuran air wudu peninggalan Buka Uma tidak perna kering.
Walaupun di Kampung Pajoreja Desa Ululoga pada umumnya masyarakat menganut agama Katolik, tetapi tempat Wudhu tersebut tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat sejarah agama Islam dan juga bentuk toleransi antara umat beragama. Sehingga dari cerita tersebut, berdasarkan inisiasi masyarakat dan kepala desa setempat untuk menggali kembali sejarah masuknya agama Islam di Kampung Pajoreja, Desa Ululoga. A03