Kisah Pilu di Balik Rencana Pengosongan 17 Pedagang Tradisional di Lahan Milik Pemprov Bali di Sanur

Denpasar (KP)-Rencana pengosongan lahan milik Pemprov Bali yang selama ini digunakan 17 pedagang tradisional di Pantai Mertasari Sanur menyisakan kisah pilu bagi pedagang yang sudah tua dan renta. Salah satunya adalah Ni Made Polok yang sudah berusia sekitar 70 tahun lebih. Wanita yang masih aktif bergerak ini sangat trauma dengan kedatangan para petugas baik SatPol PP maupun aparat polisi. “Saat petugas berseragam datang ke lokasi, saya mengumpet di belakang pintu karena ketakutan. Jantung saya hampir stop. Saya memang penyakit jantung. Tidak pernah melihat petugas berseragam datang seperti ini,” ujarnya di Sanur (27/10). Usai mengumpet itu, dirinya pulang ke rumah dengan badan yang lemas. Ia merasakan hampir semua persendian mau terlepas. Malamnya langsung mencret hingga dua hari berikutnya sehingga tidak bisa menjaga kiosnya.

Kisah menyedihkan lainnya dialami oleh I Nyoman Gede Ary Wirawan. Pria yang biasa dipanggil Man Ary ini harus berhadapan dengan para pria berbadan kekar. Mereka adalah orang suruhan dari investor yang menginginkan agar para pedagang segera angkat kaki dari lahan tersebut. “Sepertinya mereka ini orang suruhan pihak investor. Sebab mereka tidak berseragam tetapi berbadan kekar. Waktu itu saya ajak bicara baik-baik karena mereka datang ingin membongkar atap tempat parkir persis di areal pedagang itu. Saya tanyakan mana surat pembongkaran. Sebab kalau tidak ada perintah maka saya akan laporkan kepada polisi,” ujarnya. Mereka akhirnya bubar dengan teratur tetapi beberapa atap parkir sudah sempat dibongkar.

Untuk membuktikan kebenarannya, media ini pun mendatangi lokasi. Beberapa pedagang yang ditemui mengaku sangat sedih bila mereka harus digusur. Salah seorang pedagang bernama Ni Komang Ayu Dina mengaku jika dirinya dan keluarga memang tidak ada pekerjaan lain. Berjualan di lahan milik Pemprov Bali itulah pekerjaan utama untuk menghidupi keluarganya mulai dari makan, minum, pendidikan anak, kesehatan dan sebagainya. “Kalau kami disuruh pergi dari sini, kami harus bekerja dimana. Dari mana kami dapat uang, dari mana kami dapat membeli makanan dan sebagainya. Kondisi ini sama dengan para pedagang lainnya. Kalau mau cari lagi pekerjaan, sudah tidak mungkin. Siapa yang mau menerima kami lagi,” ujarnya.

Beberapa pedagang lainnya yang ditemui di lokasi mengaku, kuat dugaan jika investor sudah bekerja sama dengan pihak asing untuk membangun di lahan tepat di belakang tanah milik Pemprov Bali. “Pernah ada seorang bule menawarkan kepada salah seorang pedagang disini. Bahwa jika mereka bersedia pindah dengan baik-baik maka pihak investor akan memberikan sedikit modal untuk menyewa lapak di tempat lain. Artinya, memang sudah ada upaya untuk menjual ke pihak asing,” ujar salah seorang pedagang yang tidak mau disebutkan namanya.

Sekretaris Perkumpulan Pedagang Mertasari Ida Bagus Sedana mengatakan, dalam perjanjian sewa antara investor dengan Pemprov Bali, ada klausul yang mengatakan, pihak kedua tidak boleh menyewakan lagi kepada pihak ketiga atau pihak lainnya tanpa persetujuan dari pihak pertama. “Kami baru tahu, kalau lahan yang sekarang dimiliki oleh Hotel Mercure merupakan lahan Pemprov Bali juga sebagiannya. Hotel Mercure. Ternyata Hotel Mercure juga melakukan atau menyewakan itu kepada pihak lain. Sekarang ada dibangun kafe. Patut kami duga, jika antara Pemprov Bali dengan pihak kedua akan melakukan hal yang sama. Kami mohon agar ini dipertimbangkan kembali. Demi rakyat kecil, mereka juga warga Bali,” pintanya. A05

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *