Desember 14, 2024

Aktifis Anak Bali Identifikasi Tiga Persoalan Utama Belajar Daring

0

Denpasar[KP]-Pandemi Covid 19 menyebabkan anak-anak usia sekolah harus belajar dari rumah dengan menggunakan teknologi dalam jaring (Daring) atau online. Masyarakat terutama para orang tua dan siswa perlu segera menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi saat ini terutama belajar secara daring. Sesungguhnya, keluhan terhadap belajar daring sudah menyebar dimana mana terutama dari orang tua murid dengan pendidikan menengah ke bawah yang harus menangani pendidikan anak usia TK hingga SD. Di Kota Denpasar misalnya salah seorang warga bernama I Wayan Nanda mengatakan, banyak sekali pelajaran anaknya yang masih SD yang dikirim dari sekolah yang tidak dipahami anaknya. “Saya ibaratnya kalau hanya beli kuota masih cukup lah. Yang bikin stress adalah anak bertanya soal pelajaran atau PR yang harus diselesaikan. Saya ini secara pendidikan rendah. Menyelesaikan rumus matematika atau pelajaran lainnya sulit buat saya. Sementara anak saya memaksa, menangis, minta agar cepat kumpul sampai batas akhir jam 7 malam. Akhirnya, kita harus telp gurunya, telp temannya yang sudah menyelesaikan belajar. Sudah kerja seharian, pulang harus selesaikan belajar daring anak. Pusing juga,” ujarnya di Denpasar, Selasa (28/7).
Aktifis perempuan dan anak Bali Siti Sapurah mengatakan, belajar daring saat ini mau tidak mau harus dihadapi karena ini adalah pilihan terbaik di masa Pandemi Covid19 yang melanda dunia. Namun fakta di lapangan ternyata menimbulkan persoalan rumit yang harus segera diselesaikan. Ia meminta agar pemerintah dari pusat hingga daerah segera mengidentifikasi persoalan belajar daring yang dihadapi baik orang tua maupun siswa saat ini. “Belajar daring memang pilihan saat ini karena kita berada di masa Pandemi Covid19. Namun ini tidak semudah yang dibayangkan. Di lapangan ternyata banyak menimbulkan persoalan. Makanya pemerintah harus segera mengidentifikasi persoalan tersebut dan harus segera menemukan solusi terbaik agar mutu pendidikan Indonesia bisa terjaga dengan baik,” ujarnya di Denpasar, Selasa (28/7).
Menurutnya, ada beberapa persoalan penting dalam belajar daring. Sesungguhnya ada banyak  Pertama, keluhan soal kuota atau paket internet. Untuk masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas, mungkin hal ini tidak menjadi masalah. Namun untuk masyarakat dengan ekonomi sedang ke bawah hal ini menjadi persoalan serius. Pemerintah sesungguhnya sudah memiliki solusi dengan bantuan pendidikan dan sebagainya. Namun ini tidak menjawabi semua persoalan paket internet. Masih ada persoalan ikutan lainnya seperti siswa harus memiliki android dan tidak ada sinyal internet. Warga yang tinggal di wilayah pedesaan, yang ada di balik gunung, di wilayah pedalaman sangat susah mendapatkan sinyal. Ini juga butuh penyelesaian cepat.
Kedua, kemampuan orang tua dalam membimbing anaknya di rumah juga perlu mendapatkan perhatian. Dasarnya adalah bahwa belajar daring itu mau tidak mau, suka dan tidak suka peran orang tua sangat dibutuhkan disana. Terutama untuk siswa TK dan SD serta sebagian kecil SMP. “Peran orang tua sangat dibutuhkan. Terutama siswa SD. Di Bali misalnya, banyak orang tua yang sibuk bekerja, baik di kantor, di perusahan, sawah, di ladang. Hanya sedikit waktu mereka untuk anaknya. Mungkin sore hingga malam. Sementara anak usia SD belum bisa mandiri. Persoalan lain adalah kemampuan orang tua untuk memahami materi pelajaran juga sangat penting. Kalau orang tua sendiri tidak paham bagaimana dia harus transfer itu ke anaknya,” ujarnya. Ini juga masalah besar yang harus dihadapi.
Persoalan ketiga adalah persoalan nilai. Belajar daring ternyata lebih menekankan sisi akademis. Guru sesungguhnya tidak hanya transfer ilmu pengetahuan tetapi sikap dan karakter. Yang terjadi adalah hanya dari sisi akademis karena sudah ditargetkan dalam kurikulum. Itu pun sesungguhnya tidak maksimal. Ada beberapa contoh kasus seperti anak-anak wajib pakai seragam sekalipun mereka tetap di rumah, anak-anak diminta foto saat sedang mengerjakan pekerjaan rumah, foto sedang berolahraga atau yoga. “Padahal hanya difoto biar ada. Nilainya ya, anak-anak diajak untuk berbohong, memenuhi target materi, melengkapi laporan dan seterusnya,” ujarnya. Ia menilai, sistemnya tidak bisa disalahkan tetapi penerapannya yang harus banyak diperbaiki. A03

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *