Mengengang Prof. I Gede Parimartha: Desa Adat dan Desa Dinas di Bali Sudah Saling Melengkapi
Denpasar[KP]-Keberadaan desa adat dan desa dinas seharusnya tidak dipertentangkan, tetapi menjadi pasangan yang serasi ibarat suami istri. Demikian terungkap dalam kegiatan Diskusi Mengenang Prof. I Gde Parimartha, yang diselenggarakan Warmadewa Research Centre (WaRC) dalam rangka Ulang Tahun ke-37 Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali yang digelar di Denpasar pada Sabtu (17/7/2021).
Akademisi Universitas Udayana Prof. I Putu Gede Suwitha yang hadir sebagai narasumber mengungkapkan bahwa Prof. Parimartha merupakan salah satu sosok yang berjasa dan memiliki komitmen kuat dalam melestarikan desa adat. Beliau juga mengingatkan untuk tidak mempertentangkan desa adat dan dinas. “Ini harus memahami secara benar desa adat tidak bisa diotonom, harus steril. Tapi sebisa mungkin jangan terlalu diintervensi. Desa dinas adalah desa yang melengkapi jadi tidak perlu dipertentangkan. Dualistis saling melengkapkan tidak dualisme, bagai suami dan istri begitu istilah Prof Parimartha,” kata Suwitha.
Menurut Suwitha, sejak awal Prof, Parimartha menggagas desa adat tidak otonom penuh, tetapi bebas dari intervensi. Hal ini merupakan sumbangan terbesar beliau secara akademis bagi pembangunan Bali ke depannya. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh akademisi Universitas Udayana lainnya yaitu Prof. A.A. Bagus Wirawan. Bagus Wirawan menegaskan, konsep desa adat yang ditawarkan Prof Parimartha adalah otonomi terbatas. Otonomi yang sinergis dengan lembaga lainnya, bisa horizontal dengan Lembaga yang ada di masyarakat, menjadi vertikal dengan Lembaga yang ada di atasnya. “Prof Parimartha menentang otonomi republic, tapi hubungan sinergis horizontal maupun vertikal tidak lepas dari supradesa. Di bawah supradesa sepanjang tidak intervensi ketat. Ini yang perlu dicontoh generasi sekarang” papar Bagus Wirawan.
Sedangkan Prof Wayan Runa mengakui saat memperberdebatkan masalah desa adat dan desa dinas, Prof Parimartha selalu mengingatkan agar tidak menempatkan desa adat berhadapan dengan struktur pemerintahan. Jika hal tersebut dilakukan maka desa adat tidak merdeka. “Jika langsung dihadapkan langsung desa adat dengan struktur kepemerintahan tidak merdeka jadinya, karena diatur, seperti bawahan harus tunduk dengan atasan. Maka dari itu, mengusulkan desa adat tetap berdiri bersama desa dinas, yang berhadapan langsung dengan pemerintah adalah desa dinasnya,” ucap Runa.
Prof Parimartha secara akademisi tidak hanya berjasa dalam upaya melestarikan desa adat. Beliau juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap Universitas Warmadewa. Salah satu karya fundamental yang menggema di Warmadewa adalah Sapta Bayu Spirit Sri Kesari Warmadewa. “Itu adalah salah satu pemikiran beliau yang saya ajak merumuskan nilai-nilai kewarmadewaan, nilai-nilai Sri Kesari Warmadewa yang sudah kita abadikan dalam bentuk spirit warmadewa ada patung Saptabayu, lagu Saptabayu dan 7 kekuatan yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bagian seluruh civitas akademika Warmadewa,” papar Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali A.A. Oka Wisnumurti.
Wisnumurti menyampaikan mengenang beliau sama artinya menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran yang beliau sumbangkan baik dalam bentuk buku, seminar, makalah maupun diskusi-diskusi sehari-hari. “Ketika saya menempuh S3 Beliau adalah promotor saya. Walaupun saya begitu dekat dengan beliau secara pribadi, namun ketika bimbingan beliau adalah salah satu yang memperlambat proses tamatnya saya. Kedekatan itu bukan berarti kita bisa minta fasilitas untuk bisa cepat selesai,” kenang Wisnumurti. A02