November 8, 2024

Tahun 2018 Ada 21 Aksi Terorisme di Indonesia

0

Denpasar [KP}-Kapolda Bali Irjen Pol. Petrus Reinhard Golose mewakili Kapolri Jenderal Polisi Prof. H. Muhammad Tito Karnavian saat menghadiri acara Indo Defence 2018 Expo & Forum yang digelar di Hall C3 JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (8/11). Kehadiran Kapolda Bali sekaligus sebagai pembicara dengan tema “Menjamin Stabilitas Regional melalui Kerjasama dalam Penanggulangan Terorisme”.

Pada kesempatan tersebut Golose mengatakan, terorisme telah menjadi permasalah global bagi negara-negara di dunia. Karena berbagai kerugian baik material maupun korban jiwa harus ditanggung atas aksi terorisme yang terjadi, sehingga kerjasama melawan terorisme sangat penting dilakukan.

Disampaikannya, dari tahun 2000 sampai dengan 2017 sudah terjadi sebanyak 27 kali serangan bom besar di wilayah Indonesia dan selama tahun 2018 telah terjadi 21 aksi teror. Yang mana dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini aksi teror tersebut dilakukan oleh jaringan teror Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang sebagian besar targetnya adalah aparat kepolisian dan gereja.

“Saat ini jaringan kelompok terstruktur yang ada di Indonesia terbagi atas dua afiliasi yaitu ISIS dan Al Qaeda. Dari dua afiliasi tersebut, ada beberapa kelompok seperti Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Anshorut Syariah (JAS), dan Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok-kelompok ini juga berhubungan dengan jaringan teror yang berada di Asia dan juga Irak dan Siriah,” ungkap Kapolda Bali.

Jenderal lulusan Akpol tahun 1988 ini mengungkapkan bahwa terjadi pergeseran modus operandi yang dilakukan oleh jaringan terorisme antara lain, propaganda yang sebelumnya secara konvensi melalui buku, majalah, poster, dan pamflet menjadi mengeksploitasi dunia maya. Selanjutnya, rekruitmen yang sebelumnya merekrut anggota dengan latar belakang pendidikan rendah dan ekonomi kelas menengah ke bawah menjadi yang berpendidikan tinggi dan berasal dari kelas ekonomi atas dengan melibatkan anak-anak serta istri sebagai pelaku bom bunuh diri.

Tidak hanya itu pengadaan logistik hingga pendanaan juga terjadi perubahan. Terkait pengadaan logistik yang sebelumnya dilakukan secara konvensional berubah menjadi pendanaan melalui transaksi online. “Melihat pergeseran modus operandi tersebut, perlu kerjasama seluruh stake holder terkait dalam hal penanganan aksi terorisme. Yang mana, aktivitas terorisme selalu berputar dan terhubung satu sama lain mulai dari recruitment, training, logistic provision, paramilitary formation, planning, execution of attack, hiding, fundraising hingga propaganda,” ucap Golose.

Menurutnya, perkembangan aksi terorisme juga terjadi pada pergeseran metode, sasaran hingga penampilan para pelaku aksi teror. Kini mereka lebih mengedepankan metode aksi teror yang disebut sebagai amaliyah yaitu amaliyah istisyhadiyah dimana para pelaku siap melakukan serangan dengan bom bunuh diri dan amaliyah inghimas dimana para pelaku siap untuk melakukan serangan sampai dibunuh oleh musuh, misalnya ditembak oleh polisi. “Mereka juga mulai menggunakan metode yang disebut unexpeted actors yaitu melibatkan anggota keluarga, perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi teror secara langsung seperti yang terjadi di Surabaya. Ini merupakan aksi pertama yang terjadi di dunia,” kata jenderal bintang dua di pundak ini.

Sejak dideklarasikannya ISIS pada tahun 2014, ini menjadi magnet bagi orang Indonesia untuk bergabung dalam jihad global dalam bendera ISIS di Irak dan Suriah. Tercatat oleh Satgas Counter FTF bahwa warga negara Indonesia yang diketahui bergabung dengan jaringan terorisme internasional dalam konflik dunia 2015-2018 sebanyak 1,506 orang.

Dengan banyaknya jumlah warga negara Indonesia yang menjadi foreign terrorist fighters (FTF) dan bergabung dengan ISIS di Suriah, Irak dan Filipina Selatan memunculkan ancaman antara lain, frustrated traveler (FT) yaitu mereka yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah namun tidak tercapai karena dideportasi kembali ke Indonesia. Selain itu, returnees adalah FTF yang kembali ke indonesi dan dan bergabung dengan jaringannya.

Terkait penanggulangan ancaman terorisme, Golose mengungkapkan bahwa Polri memiliki strategi yang berdasarkan pada persatuan bangsa yaitu empat pilar strategi penanggulangan terorisme dan Asean Strategi dalam kegiatan pertemuan tingkat menteri tentang kejahatan transnasional. Dari kedua perangkat kerangka kerja hukum internasioal tersebut, maka strategi nasional dalam penanggulangan terorisme terbagi menjadi dua strategi yaitu soft power yang terdiri dari kontra radikalisasi, kontra ideologi, dan deradikalisasi. Sementara hard power dalam bentuk penegakan hukum dengan mengedepankan serangan preemtif yaitu penegakan hukum yang dilakukan untuk mencegah tindakan teror.

Dalam menjalankan strategi soft power maupun hard power Polri tidak bekerja, mereka membutuhkan kerjasama dalam penanggulangan terorisme oleh kepolisian dalam berbagai bidang dan dengan pemegang saham yang terkait dalam lingkup nasional antara lain, di bidang pendanaan terorisme Polri bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Layanan Keuangan, serta pusat analisis dan laporan transaksi keuangan Indonesia. Kemudian, di bidang foreign terrorist figthers (FTF) Polri bekerja sama dengan immigrasi, Adat, otoritas bandara, otoritas Pelabuhan, dan Kementerian Sosial. Selain itu, di bidang cyber terrorism bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi Dan Informatika Indonesia, agen enkripsi cyber nasional dan penyedia server internet.

Selanjutnya, di bidang deradikalisasi dan kontra radikalisasi bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan, TNI dalam UU Nomor 5 tahun 2018 pasal 43 i, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Kementerian Agama, dan Kementerian Sosial. Bahkan, di bidang deradikalisasi dan kontra radikalisasi juga melibatkan N.G.O, akademisi, masyarakat sipil dan pemimpin agama.  Dan berikutnya adalah kerjasama dalam penanggulangan terorisme di bidang penegakan hukum yaitu criminal justice system institution. “Dalam lingkup regional cooperation yaitu Asean country dan dalam lingkup internasional cooperation, Polri juga aktif dalam event billateral and multilateral,” katanya. Kapolda Bali berharap dengan dilaksanakannya kegiatan ini dapat mempererat kerjasama baik di lingkup nasional, regional dan internasional dengan merumuskan langkah antisipasi dan pencegahan tindak pidana terorisme melalui efektif cooperation antar negara dalam hal berbagi informasi dan dalam peningkatan kapasitas dan pembaruan teknologi. Karena, mengingat ancaman terorisme dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun. A05

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *