Ternyata Baru 30% Kepala Desa di Indonesia yang Mendapatkan Jaminan Sosial
Denpasar (KP)-Direktur Utama BPJS Agus Susanto meminta kepada para kepala desa dan aparat desa agar segera menganggarkan anggarannya dalam anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) untuk jaminan sosial dan ketenagakerjaan. Hal ini disampai Agus Susanto saat ditemui di Denpasar, Jumat (19/10). “Sekarang perangkat desa itu sudah harus setara kesejahteraannya dengan PNS lainnya. Dimana para aparat desa harus mendapatkan jaminan sosial, ketenagakerjaan, hari tua dan pensiun. Mereka saat ini bisa mendapatkan jaminan hari tua dan pensiun dan dua program lagi yaitu kecelakaan kerja dan kematian. Bagaimana caranya? Caranya adalah ada di APBDes. Harus dimasukan dalam anggaran pendapatan dan belanja desa,” ujarnya.
Di APBDes itu ada Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, pasal 9, 19 dan 20. Disana dijelaskan bahwa APBDes adalah terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. Dan untuk belanja itu APBDes itu bisa digunakan untuk belanja pegawai. Belanja pegawai itu bisa digunakan untuk iuran sosial, baik untuk BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. “Saya menghimbau kepada perangkat desa agar segera menganggarkan APBDes-nya untuk membiayai iuran BPJS Ketenagakerjaan, pensiun dan kematian. Kalau itu tidak digunakan maka mereka akan kehilangan kesempatan,” ujarnya. Katakanlah sekarang mereka belum menganggarkan, maka hari ini mereka kehilangan kesempatan karena ini berupa tabungan perbulan untuk masuk ke BPJS Ketenagakerjaan.
Manfaatnya adalah yang jaminan hari tua, memasuki usia pensiun, tidak bekerja, maka seluruh dana itu akan diberikan, mereka akan menerima uang pensiun. Mekanismenya, persis seperti PNS, yakni menerima sebesar 30 persen dari rata-rata upah. Kalau meninggal maka akan diberikan kepada ahli warisnya. Ini manfaat yang luar biasa. “Kita harus berterima kasih kepada pemerintah Jokowi yang telah memberikan perhatian yang serius bagi kesejahteraan kepala desa dan aparatnya, untuk meningkatkan kesejahteraan para aparat desa melalui jaminan sosial ketenagaankerjaan,” ujarnya.
Aturan ini tidak bisa berlaku surut untuk menjangkau para mantan kepala desa dan aparatnya. Saat ini para kepala desa yang sudah mendapatkan jaminan sosial dari BPJS baru mencapai 40 persen dari jumlah desa di seluruh Indonesia yang sudah mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan. Kemudian untuk jumlah aparat desa baru ada 30 persen dari total aparat desa seluruh Indonesia. “Artinya ada 70 persen aparat desa di seluruh Indonesia dan 60 persen kepala desa di seluruh Indonesia yang belum mendapatkan jaminan sosial hari tua. Ini bukan belum mendapatkan, tetapi belum menganggarkan. Memang regulasinya baru keluar tahun ini karena ini adalah cantolan payung hukum untuk menggunakan APBDes membiayai jaminan sosial tenaga kerja,’ ujarnya.
Pihaknya selalu menghimbau agar jaminan sosial para kepala desa dan aparatnya agar segera dianggarkan. Dananya sudah ada, tinggal dianggarkan. Tahun depan ditargetkan sudah ada dan sudah 100 persen desa di Indonesia final. Prosentase yang kecil ini disebabkan oleh beberapa hal misalnya kemampunan daerah berbeda-beda karena mereka memprioritaskan pada infrastruktur. Penyebab lain adalah regulasi yang baru ini belum dipahami secara cermat, belum disosialisasikan secara masif. Ini harus diingat karena merupakan bagian dari penghasilan dari kepala desa yang merupakan jaminan hari tua dan pensiun.
Bila disimulasikan, semisal upah dirata-ratakan perbulan Rp 1,5 juta. Maka rata-rata mereka kehilangan perbulan sebesar Rp 138 ribu, untuk jaminan hari tua, kecelakaan, kesehatan dan pensiun. Artinya, kalau tidak dimanfaatkan, para kepala desa kehilangan perbulan Rp 138 ribu. Bila pendapatan Rp 3 juta maka mereka kehilangan perbulan sebesar Rp 250 ribu perbulan untuk pelayanan ketenagakerjaan, kesehatan, jaminan hari tua dan pensiun. Ini untuk penerima upah ujarnya. A05