Maret 21, 2025

Kebijakan Efisiensi Anggaran Presiden Prabowo Subianto Itu Revolusioner

0

Oleh: Gus Beng*

Kebijkan efesiensi anggaran Tahun 2025 ini sedang dilakukan oleh Preseien Prabowo dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efesiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN Dan APBD Tahun Angaran 2025. Selanjutnya Kementerian Keuangam RI menerbitkan Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tanggal 24 Januari 2025 tentang Efesiensi Belanja Kementerian/Lembaga Dalam Pelaksanaan APBD TA 2025.

Hal itu merupakan Deregulasi Anggaran sebagai langkah strategis untuk lebih mengefektifkan pemanfaatan anggaran guna memberikan outcome semakin banyak kepada publik. Pos anggaran yang dinilai jauh dari fungsi pelayan dan pemberdayaan publik dipotong atau dialihkan untuk urusan publik, seperti anggaran untuk alat tulis kantor, anggaran perjalan dinas, anggaran perjalanan dinas ke luar negeri yang besarnya puluhan triliun rupiah setiap tahun, serta pos anggaran yang sejenis.

Kebijakan Deregulasi Anggaran oleh Presiden Prabowo dapat dikatakan cukup revolusioner, karena belum ada Presiden sebelumnya (setelah reformasi) yang berani memotong pos anggaran hingga kisaran angka 50% pada 16 (enam belas) sektor atau urusan pos belanja, yang didugan 16 pos anggaran itu kerap digunakan oleh oknum pejabat/birokrat untuk mencari tambahan penghasilan.

Enam pos belanja dari 16 (enam belas) kategori pos belanja yang cukup besar dilakukan deregulasi antara lain pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK) yang dipotong hingga 90%, pos kegiatan seremonial yang dipangkas 56,9%, pos biaya perjalanan dinas pejabat, termasuk anggaran perjalanan dinas ke luar negeri dipotong 53,9%, kegiatan rapat seminar dipotong 45%, pos diklat bimtek dipotong 29%, serta pos belanja lainnya dipotong 59,1%.

Deregulasi anggaran yang sedang dilakukan diharap dapat memberi manfaat. Manfaat pertama yang diperoleh adalah didapatnya anggaran sekitar Rp 300-400 triliun dari kegiatan itu, atau kegiatan penyisiran anggaran yang cenderung unfaedah untuk publik. Kedua, anggaran yang didapat akan digunakan membiayai Program Makan Bergizi Gratis(MBG) untuk para pelajar se-Indonesia, dan program lain untuk perlindungan sosial masyarakat.

Selain dua manfaat di atas, hal ketiga dari deregulasi itu juga menimbulkan dampak, salah satunya suara keresahan birokrat dan atau pejabat-pejabat publik. Mereka sepertinya kecewa dengan pemangkasan anggaran tersebut. Semua kantor pemerintah dipaksa untuk berhemat, hingga ada gedung pemerintah harus mengurangi penggunaan lift, mengurangi penggunaan lampu. Suara-suara sumbang pun mulai terdengar berbisik, seperi kalimat : waduhhh anggaran habis untuk MBG.

Poin keempat yang bisa menjadi dampak dari kebijakan itu adalah aktivitas ekonomi atau siklus MICE (Meeting, Invention, Conference, Exebition) di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Denpasar, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar. Para pelaku usaha yang terkait dengan aktivitas MICE harus siap-siap kekurangan penghasilan atau omset, travel, hotel, rumah makan, jasa transportasi lokal dan lainya. Kebijakan ini akan bisa seperti kejadian Tahun 2016 saat pemerintah pusat membatasi perjalan dinas untuk semua pejabat di Indonesia.

Kelima, kebijakan deregulasi anggaran yang sedang dilakukan tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri di level pusat, semestinya kebijakan itu harus linear dengan langkah pemerintah pusat sendiri, pemerintah pusat harusnya memberi contoh yang benar dan tepat, contohnya hal jumlah menteri dan wakil menteri, termasuk jumlah kepala lembaga pemerintahannya. Jumlahnya tergolong sangat banyak dan gemuk, 53 Menteri dan 56 Wakil Menteri, sehingga pasti akan sangat membebani anggaran negara. Jauh dari kata efesien jika dibanding jumlah menteri di Amerika Serikat yang hanya 15 Menteri dan dengan Brazil yang hanya 38 Menteri. Indonesia sangat tepat disanding bandingkan dengan kedua negara di atas, baik hal luas wilayah maupun jumlah penduduk. Bukan dibandingkan dengan Timor Leste, yang juga cenderung lebih boros lagi.

Lalu hal keenam sebagai efek dari kebijakan deregulasi anggaran adalah pemilihan kebijakan yang ditempuh setelah mendapatkan anggaran Rp 300-400 triliun itu. Target utamanya adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk seluruh pelajar Nusantara, dari sisi program memang bagus. Tetapi cara eksekusi program masih menimbulkan persoalan, ada pihak yang menyatakan akan rentan berorientasi proyek sebab biaya pengadaan makanan siap santap menggunakan model dapur berstandar membutuhkan biaya operasional tidak murah, lebih masuk akal ide Kang Dedi Mulyadi Jawa Barat dan Ahok Jakarta yang cenderung menyarankan agar dana ditansfer langsung ke rekening orang tua para penerima MBG.

Hasil uji coba orogram MBG memang ada beberapa catatan yang mesti diperbaiki oleh aktor-aktor yang terlibat. Umumnya kendala hal-hal teknis, yang sebenarnya mudah diperbaiki, seperti kualitas makanan dan lainnya. Di sanalah fungsi ahli gizi yang harus ada di setiap dapur. Namun, untuk wilayah atau daerah yang topografinya berat, membutuhkan waktu dan biaya transpor lebih mahal, sangat sulit merealisasikan harga Rp. 15.000,- per orang per sekali makan. Sehingga sangat wajar para pelajar di Papua pegunungan menolak Program MBG.

Keterbatasan anggaran negara menjadi kendala Kabinet Prabowo-Gibran untuk bisa merealisasikan janji-janji politiknya. Negara atau pemerintah memang harus berpikir lebih cermat lagi untuk bisa memperoleh pendapatan negara yang lebih banyak lagi, sehingga bisa merealisasikan program-program yang tepat untuk percepatan peningkatan kualitas SDM, serta membiayai semua infrastruktur pendukung penguatan SDM dan pertumbuhan ekonomi.

Deregulasi anggaran, hanya akan menyentuh kebutuhan gizi para siswa/pelajar, namun di saat yang sama akan muncul persoalan rencana peningkatan Uang Kuliah Tambahan (UKT) mahasiswa di semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN), mengingat Kementerian Diktisaintek juga harus melakukan refocusing anggaran. Terlebih lagi para Dosen ASN, terutama Dosen ASN Kemndiktisaintek, jangankan rapelan Tunjangan Kinerja Dosen sejak Tahun 2020-2024.

Tukin untuk Tahun 2025 yang seharusnya terbayar di Bulan Januari 2025, hingga saat ini pun belum dibayar. Pemerintah pusat juga lalai membayar hak mereka sejak Tahun 2020 hingga 2024. Sangat memalukan, alih-alih mau membuat pelajar sehat, sementara para dosennya yang akan menangkap/mengajar mereka setelah lulus SMA/SMK masih berkutat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, sangat jauh dengan tingkat kesejahteraan dosen di negara tetangga seperti Malaysia, apalagi dengan Singapura.

Akhir kalimat, semoga deregulasi anggaran yang sedang dilakukan Presiden Prabowo lebih diarahkan untuk penguatan kesejahteraan para penyelenggara negara, agar mereka bisa hidup sejahtera dulu. Tentunya dengan program kegiatan yang rasional dan logis. Setelah itu barulah anggaran diarahkan untuk penguatan SDM Publik, tidak boleh dikorupsi Rp 1 pun, dengan mekanisme hukum pembuktian terbalik. Mengapa demikian, karena jika para penyelenggara negara belum masuk kategori sejahtera, sehebat apa pun program kegiatan yang akan dilaksanakan, dalam implementasinya diduga cenderung akan ada yang dikorup atau diselewengkan, demikian.
Salam Bayar Rapel Tukin Dosen ASN.
Tahun 2020 sampai 2024

*Penulis adalah akademisi dan pengamat sosial politik di Bali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *