Koster Komitmen Bangun Industri Kesehatan Tradisional
Denpasar (KP)-Sebentar lagi Bali akan memilikki industri pengobatan tradisional yang berskala dunia. Gubernur Bali I Wayan Koster secara sangat serius akan membangun industri pengobatan tradisional. Saat ditemui di Kantor Gubernur Bali di Renon Denpasar, Jumat (2/11), Koster menjelaskan bahwa pembiayakan akan dilakukan oleh APBN sebesar Rp 10 miliar lebih. “Regulasinya sudah ada di UU Kesehatan. Namun untuk lokalnya kita akan menyusunnya sambil jalan,” ujarnya. Regulasi yang ada di atasnya sudah ada dan tersebar di beberapa peraturan dan UU. Indonesia telah mengenal pengobatan tradisional dan dimasukkan ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (UU 36 th 2009 Tentang Kesehatan, UU 36 th 2014 Tentang Tenaga Kesehatan). Pelayanan Kesehatan Tradisional dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 103 th 2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional, dalam pelaksanaanya diikuti oleh peraturan Kementrian Kesehatan, seperti, Permenkes RI No. 61 Th 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, Permenkes No. 37 th 2017 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi, Permenkes No. 15 Th 2018 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer. Kehadiaran Negara pada pengobatan tradisional adalah wujud Negara dalam melindungi tradisi pengobatan yang secara empiris telah terbukti. Negara menginduksi pengembangan Pengobatan Tradisional sebagai unggulan dan menuju pada level terhormat dan diterima secara menyeluruh.
Menurut Koster, industri pengobatan tradisional Bali sangat berpotensi untuk dikembangkan. Rujukan Bali sangat jelas yakni lontar Bali. Lontar usada atau penyembuhan merupakan warisan leluhur Bali tentan tata cara pengobatan Bali secara tradisional dan masih digunakan masyarakat Bali hingga sekarang. “Bali itu memiliki referensi yang sangat kuat, memadai, ada dalam lontar Bali. Sebagai warisan adiluhung dalam memberikan pengobatan alternatif kepada masyarakat. Pada zaman dahulu sudah dipraktekan. Ada tanaman tradisional untuk pengobatan. Tumbuhan ini ada yang masih hidup, dan ada yang sudah punah. Maka dalam konteks kami ke depan, akan dikembangkan kawasan khusus untuk mengembangkan tanaman dan obat tradisional,” ujarnya. Di zaman dulu, pengobatan ini sangat kuat. Sekarang pilihan orang ke medis. “Ke depan, kecenderungan dunia, akan kembali ke alam, bergeser kembali ke alam. Termasuk dalam hal pengobatan. Maka harus disiapkan. Kami melihatnya ini sebagai potensi yang harus segera dikembangkan di Bali,” ujarnya.
Untuk itu beberapa hal yang akan segera dikerjakan. Pertama, mengembangkan kawasan obat tradisional. Tujuannya, melestarikan yang sudah langkah. Dinas Pertanian harus mencarinya. Ini bagian dari pelestarian tanaman tradisional Bali. Pengembangan kawasan tanaman obat tradisional itu akan dilakukan di Kabupaten Bangli, karena disana memiliki lahan milik Pemprov seluas 3 hektar. Kedua, potensi harus diberdayakan. Sebagai bagian dari warisan budaya, ada UU Kebudayaan dimana disebuttkan potensi warisan itu karena tidak saja dibina, dilindungi, tetapi diberdayakan. Untuk itu harus dikembangkkan industri pengobatan tradisional. “Ahlinya ada, laboratoriumnya ada, tetapi sangat terbatas. Ini harus jadi kebijakan yang dijalankan dengan regulasi, dengan prioritas, dengan saran dan prasarananya. Suatu saat kalau ada yang membutuhkan, maka tinggal dicarikan di kawasan yang sudah disiapkan,” ujarnya. Kawasan tanaman obat itu adalah percontohan, lalu langkah berikutnya masyarakat harus menanamnya di kebunnya masing-masing.
Ketiga, bila bahan bakunya sudah ada, sudah siap, maka akan dibangun industri olahan, baik setengah jadi maupun dan jadi. Namanya Industri kesehatan herbal. Ini bagian dari strategi pembangunan kesehatan masyarakat. Bali harus ada, karena referensinya, warisan budayanya jelas. Bila di Cina ada Chinis Traditional Medicine (CTM), di India ada Aryur Wedhic Medicine (AWM) maka Bali harus memiliki Balian. Keempat, tenaga kesehatan tradisional. Tenaga kesehatan tradisional bukan seperti balian atau dukun dalam pengertian biasa. Tenaga kesehatan itu akan masuk di asosiasi, ada standarnya, ada lembaga pelatihannya, ada standar kompetensi, ada kode etiknya. Semua ini akan didorong dengan APBD dan APBN. “Ini adalah suatu pilihan. Tidak menyeluruh, tetapi kalau orang memerlukan pasti harus tersedia. Dengan tata cara yang benar. Harusnya kita di Bali sudah ada, karena kita lengkap. Secara empiris bisa dilakukan, maka akan dijadikan sebagai kebijakan, tertata dengan baik. Jadi bukan seperti dukun yang dibayangkan banyak orang,” ujarnya. A05