Penyelenggara Pemilu di Bali Jarang Terjadi Pelanggaran Kode Etik
Denpasar [KP]-Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ida Budhiati menyatakan sejak DKPP didirikan atau sekitar 7 tahun terakhir terhitung sejak tahun 2012 hingga 2019 lembaganya sudah menerima 3.274 pengaduan dari peserta pemilu seluruh Indonesia terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU & Bawaslu). Hal ini disampaikan Ida Budiati dalam bincang-bincang dengan awak media di Bali pada Senin malam (4/3) di Bali. Bersama Tim Ahli DKPP, Ferry Faturochman, Budiarti menegaskan, dari jumlah pengaduan tersebut sebanyak 1.271 kasus atau 39% perkara dianggap layak sidang. DKPP akhirnya memutuskan 51% penyelenggara pemilu direhabilitasi karena tidak terbukti melanggar kode etik dan yang dikenai sanksi sebanyak 49% berupa teguran atau peringatan tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap.
Ida Budhiati secara tegas menyatakan DKPP tidak dapat mengomentari kasus perkasus yang sedang ditangani oleh DKPP termasuk situasi politik lokal terkait Pemilu 2019, yang berpotensi melanggar kode etik. “Saya tidak bisa mengomentari kasus per kasus yang sedang ditangani DKPP yang ada indikasi melanggar kode etik. Saya juga terikat kode etik internal DKPP, jadi saya tidak bisa komentar,” ujar Ida menanggapi pertanyaan wartawan terkait isu lokal yang sedang hangat di Bali. Posisi DKPP dalam menangani dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu hanya berdasarkan laporan pengaduan masuk ke DKPP. DKPP bersifat pasif dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 terkait tugas dan fungsinya yakni menangani perkara dugaan pelanggaran kode etik. Bila dugaan pelanggaran tidak dilaporkan maka DKPP tidak bisa berbuat banyak. DKPP hanya bisa menjalankan fungsi edukasi kepada khalayak untuk menjelaskan peranan DKPP melalui sosialisasi kode etik. Meskipun ditanya media lokal untuk menanggapi kasus e-KTP yang dimiliki warga negara asing di Bali dan terdaftar di DPT maupun isu kampanye Pilpres oleh pejabat lokal, anggota DKPP Ida Budhiati tetap konsisten pada jawabannya.
Ia mengakui jika Provinsi Bali termasuk daerah yang jarang penyelenggara pemilunya diadukan ke DKPP. Para penyelenggara di Bali jarang diadukan terkait dengan pelanggaran kode etik.
“Di tahun 2014 hanya ada 4 pengaduan. 2015 terdapat 4 pengaduan, 2018 menerima 2 pengaduan dan di tahun 2019 justru nihil”, bebernya. DKPP belum bisa memastikan apakah hal ini mengindikasikan publik Bali tidak tahu keberadaan DKPP atau sebaliknya peserta pemilu tahu tapi merasa tidak ada hal yang perlu dipersoalkan dari sisi etika bagi para penyelenggara Pemilu. DKPP mengapresiasi Provinsi Bali sebagai provinsi yang paling rendah dalam hal pengaduan kode etik penyelenggara Pemilu. Namun DKPP mengkritisi apakah rendahnya pengaduan tersebut karena penyelenggara Pemilu di Bali memang sudah ‘on the right track” atau karena ketidaktahuan masyarakat.
DKPP juga menyebut ada 5 provinsi di Indonesia dengan pelanggaran kode etik terbanyak yang diktehui dari banyaknya pengaduan ke DKPP. Kelima provinsi itu antara lain Papua, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Aceh, Sulawesi Utara. Pelanggaran bukan hanya terjadi di penyelenggara dan pengawas Pemilu tingka provinsi tetapi justeru terbanyak di tingkat kabupaten sejauh yang diadukan ke DKPP. Belum lagi pengaduan ke PTUN, MK, dan pengadilan umum lainnya. A05