Waspada, Wanita Indonesia yang Terpapar Radikalisme Naik Drastis

Nusa Dua[KP]-Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan penelitian tahun 2020. Penelitian dilakukan di 32 provinsi di Indonesia dalam rangka Penguatan Kebhinnekaan dan Literasi Digital Dalam Upaya Menangkal Radikalisme. Peneliti BNPT Lilik Purwandi mengatakan, setiap tahun BNPT melakukan penelitian dengan tujuan untuk memetakan potensi radikalisme dan menemukan daya tangkal yang efektif untuk menangkal paparan paham radikalisme di masyarakat. Penelitian tahun 2020 ini merupakan tindak lanjut dari temuan penelitian tahun sebelumnya. Penelitian tahun 2019 dengan melibatkan 15.360 responden di 32 provinsi menemukan bahwa dimensi Pendidikan Kebhinnekaan pada anak memiliki skor paling rendah (53.11), dibanding dimensi pola pendidikan keluarga yang lain, seperti dimensi pendidikan moral dengan skor 82.03, dimensi pendidikan agama dengan skor 75.02, dan pendidikan Kearifan Lokal dengan skor 61.22. “Dengan demikian salah satu tujuan penelitian ini terfokus untuk memperdalam potret pemahaman dan sikap masyarakat terhadap kebhinnekaan yang ada di masyarakat.Penetrasi internet dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan,” ujarnya Rabu malam (16/12/2020) di Nusa Dua Bali.
Beberapa penelitian terbaru tahun 2020 menunjukan bahwa data APJII (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) tahun 2018 menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia mencapai 64.8%. Pertumbuhannya mencapai 10.12% dibanding tahun sebelumnya. Penggunaan internet untuk generasi yang lebih muda diprediksi juga makin tinggi jika dibanding dengan generasi sebelumnya. Temuan penelitian BNPT tahun 2018 melalui studi kualitatif menunjukkan bahwa saat ini memasuki era posth truth dimana internet dan sosial media memainkan peran penting. Generasi muda khususnya milenial dan gen Z menjadi objek radikalisasi. Generasi milenial adalah generasi yang lahir tahun 1981-2000 dan gen Z adalah generasi yang lahir tahun 2001-2010. Sedangkan generasi sebelum milenial yaitu gen X (lahir 1965-1980) dan baby boomer (lahir 1946-1964).
Secara garis besar, pola penyebaran radikalisme dilakukan melalui berbagai saluran antara lain pertama, melalui media massa seperti internet, radio, buku, majalah. Kedua, pamflet yaknikomunikasi langsung dengan bentuk dakwah, diskusi, dan pertemanan. Ketiga, hubungan kekeluargaan dengan bentuk pernikahan, kekerabatan, dan keluarga inti. Keempat, lembaga pendidikan di sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Dari berbagai pola penyebaran radikalisme tersebut, teknik penyebaran radikalisme melalui internet menjadi media yang paling sering digunakan.
Berbekal temuan penelitian 2018 dan blue print BNPT tersebut memperdalam potret perilaku dan literasi digital dimasyarakat.Penelitian ini memiliki 3 tujuan yaitu pertama, memetakan potensi radikalisme di masyarakat. Kedua, memetakan pemahaman dan sikap terhadap kebhinnekaan serta pengaruhnya dalam menangkal paham radikalisme. Ketiga, memetakan literasi digital di masyarakat serta pengaruhnya dalam menangkal potensi radikalisme di masyarakat.
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 13.700 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Kriteria responden adalah mereka yang berusia diatas 14 tahun hingga 55 tahun. Komposisi sampel sesuai dengan demografi dan geografi penduduk Indonesia. Sampel diambil dengan
menggunakan Teknik Multistage Random Sampling dengan rumah tangga sebagai unit terkecil. Secara nasional margin of error penelitian ini sebesar 0.89% pada selang kepercayaan 95%. Survei dilakukan pada bulan Juli – Oktober 2020. Respoden seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Responden perempuan sebesar 49.4% sedangkan responden laki-laki sebesar 50.6%. Mayoritas responden telah menikah, dengan persentase sebesar 61.6%, kemudian belum menikah dengan persentase 35.6%, dan memegang status janda ataupun duda dengan persentase sebesar 2.8%. Mayoritas responden merupakan milenial dengan persentase 52.4%, kemudian diikuti oleh gen X dan gen Z. Persentase gen X mencapai 33.6% dan persentase gen Z mencapai 14.1%. Mayoritas responden beragama Islam dengan persentase sebesar 87.5%, sisanya merupakan agama lain, seperti Kristen protestan (7.4%), kemudian Hindu (2.4%), Katholik (2.1%), Budha dan Konghuchu.
Dari penelitian itu ditemukan bahwa potensi radikalisme menurun. Indeks potensi radikalisme mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Indeks potensi radikalisme tahun 2020 mencapai 14.0 (pada skala 0-100) atau 12.2% (dalam persentase) menurun dibanding tahun 2019 yang mencapai 38.4 (pada skala 0-100). Tentunya ini merupakan kabar gembira, artinya kerja-kerja kontra radikalisme telah membuahkan hasil. Menurunnya potensi radikalisme, jangan sampai membuat seluruh elemen yang terlibat dalam kerja-kerja kontra radikalisme menjadi berpuas diri dan terlena. “Terjadi feminisasi radikalisme. Indeks potensi radikalisme pada perempuan sedikit lebih tinggi dibanding pada laki-laki. Indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12.3% sedangkan indeks potensi radikalisme pada laki-laki pencapai 12.1%. Artinya terjadi femisisasi radikalisme. Radikalisme tidak hanya menyasar kalangan lak-laki saja tetapi semakin mengarah ke perempuan.
Terjadi urbanisasi radikalisme. Urbanisasi radikalisme merujuk pada lebih tingginya indeks potensi potensi radikalisme dikalangan urban (perkotaan) dibanding dikalangan rural (pedesaan). Temuan penelitian 2020 menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme dimasyarakat urban mencapai 12.3% dan di masyarakat rural mencapai 12.1%. Artinya indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi dimasyarakat urban. Masyarakat urban merupakan masyarakat yang heterogen dan terbuka sehingga mudah menerima hal-hal baru, termasuk dalam hal ini adalah pemikiran-pemikiran baru yang tidak disadari namun mengarah pada radikalisme.
Terjadi radikalisasi generasi muda dan netizen. Radikalisasi dikalangan generasi muda tercermin dari temuan penelitian tahun 2020 yang menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12.7%; kemudian pada milenial mencapai 12.4% dan pada gen X mencapai 11.7%. Artinya indeks potensi radikalisme lebih tinggi pada generasi muda (gen Z dan milenial) dibanding generasi yang lebih tua.Netizen yang aktif mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi dibanding dengan netizen yang tidak aktif mencari konten keagaman di internet. Indeks potensi radikalisme pada mereka yang mencari konten keagamaan di internet mencapai 12.6%. Sedangkan indeks potensi radikalisme pada mereka yang tidak mencari konten keagamaan di internet mencapai 10.8%. Indek potensi radikalisme pada netizen yang suka menyebar konten keagamaan ternyata lebih tinggi dibanding netizen yang tidak menyebar konten keagamaan. Indeks potensi radikalisme pada netizen yang menyebar konten keagamaan mencapai 13.3% sedangkan netizen yang tidak menyebar konten keagamaan memiliki indeks potensi radikalisme sebesar 11.2%.
Kebhinnekaan menjadi daya tangkal efektif. Pemahaman dan sikap yang baik terhadap kebhinnekaan (keragaman) menjadi daya terhadap paparan radikalisme. Korelasi antara indeks kebhinnekaan dengan indeks potensi radikalisme berbanding terbalik, dengan nilai korelasi -0.94. Artinya semakin tinggi tingkat kebhinnekaan seseorang maka potensi radikalisme semakin rendah. Tingkat pemahaman dan sikap terhadap kebhinnekaan yang terefleksikan melalui indeks kebhinnekaan menunjukkan bahwa indeks kebhinnekaan cenderung lebih rendah pada perempuan, masyarakat urban, generasi muda (gen Z dan milenial) dan juga mereka yang aktif di internet. Indeks kebhinnekaan pada perempuan mencapai 82.5%, pada kalangan urban mencapai 82.6%, pada gen Z mencapai 82.2%, pada milenial mencapai 82.5%, pada mereka yang aktif mencari konten keagamaan mencapai 82.5% dan pada mereka yang menyebar konten keagamaan mencapai 81.8%.
Literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal efektif. Literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variabel yang tidak signifikan (r=0.004). Nilai korelasi antara antara kedua variabel tidak signifikan (r=0.074).
Netizen rentan terhadap paparan radikalisme mayoritas responden mengakses internet (75.5%). Mayoritas gen Z mengakses internet (93%), demikian juga Milenial (85%), sedangkan gen X yang mengakses internet jumlahnya mencapai 54%. Netizen (mereka yang mengakses internet) mayoritas pernah menerima konten keagamaan (83%), mencari konten keagamaan (77%) dan menyebar konten keagamaan (52%). Mayoritas netizen sudah pada kategori medium user (aktif akses internet perhari 1-3 jam) dan heavy user (aktif akses internet). Mereka yang masuk kategori medium user persentasenya mencapai 34.6%, dan mereka yang masuk kategori heavy user mencapai 27.1%.
Netizen cukup rentan terhadap paparan radikalime disebabkan oleh beberapa hal, pertama, jumlah mereka yang menerima konten keagamaan dari orang lain cukup besar (83%), dengan intensitas yang bisa dikategorikan cukup sering yaitu beberapa kali dalam seminggu (37.8%) dan setiap hari (16.6%). Kedua, mereka mencari konten keagamaan mayoritas via youtube (77%) dengan durasi pendek (<30 menit). Artinya konten yang dilihat merupakan konten-koten yang tidak utuh. Ketiga, pemuka agama yang tegas menempati urutan ketiga dari pertimbangan mereka yang dalam memilih ustad (34.6%), setelah memiliki kedalaman ilmu (65.9%) dan humoris (57.8%). A01